Touring de Dempo
Hujan masih terus turun. Sudah dua hari kami terjebak di dalam goa yang cukup besar dengan diameter sekitar 1000 meter persegi dantanaman langka yang belum pernah kami lihat di tempat manapun. Tapi aliran air yang berada di atas goa, membuat kami agak takut.
Bagaimana kalau dinding goa runtuh. Kami tidak tahu seberapa besar jumlah air yang ada di atas. Kami tak mau mengambil risiko keluar goa dan memanjat dinding goa hanya untuk mengetahui seberapa besar volume airnya.
“Perbekalan hampir habis. Perjalanan pulang dalam kondisi seperti ini bisa memakan waktu sehari semalam. Bagaimana?” tanya Mudin, pimpinan rombongan touring de Dempo.
“Bagi aku, daripada mati di sini, lebih baik kita ambil risiko apapun,” respon Tina dengan nada semangat.
“Ya, lebih baik berjuang dulu daripada mati tanpa mampu berbuat apa-apa,” kataku mendukung Tina.
Akhirnya kami berlima sepakat untuk turun pada pagi hari. Semua barang yang tidak terlalu kami gunakan dalam perjalanan, seperti bajukotor dan alat masak, terpaksa kami tinggalkan di dalam goa.
“Jangan lupa biji-bijian dan contoh tanah yang sudah kita kumpulkan,” kata Orin mengingatkan.
Kami melakukan ekspedisi yang tidak biasa sebenarnya. Kami sangat tidak tahu bahwa medan ke goa Dempo sangatlah sulit dan sering terjadi longsor. Informasi yang terbatas tentang keberadaan goa ini, membuat kami tidak membawa peralatan yang memadai. Perubahan cuaca yang sangat cepat juga di luar perkiraan kami.
“Perbekalan hampir habis. Perjalanan pulang dalam kondisi seperti ini bisa memakan waktu sehari semalam. Bagaimana?” tanya Mudin, pimpinan rombongan touring de Dempo.
“Bagi aku, daripada mati di sini, lebih baik kita ambil risiko apapun,” respon Tina dengan nada semangat.
“Ya, lebih baik berjuang dulu daripada mati tanpa mampu berbuat apa-apa,” kataku mendukung Tina.
Akhirnya kami berlima sepakat untuk turun pada pagi hari. Semua barang yang tidak terlalu kami gunakan dalam perjalanan, seperti bajukotor dan alat masak, terpaksa kami tinggalkan di dalam goa.
“Jangan lupa biji-bijian dan contoh tanah yang sudah kita kumpulkan,” kata Orin mengingatkan.
Kami melakukan ekspedisi yang tidak biasa sebenarnya. Kami sangat tidak tahu bahwa medan ke goa Dempo sangatlah sulit dan sering terjadi longsor. Informasi yang terbatas tentang keberadaan goa ini, membuat kami tidak membawa peralatan yang memadai. Perubahan cuaca yang sangat cepat juga di luar perkiraan kami.
Hal yang lebih parah adalah, tidak ada pihak berwajib yang kami lapori keberadaan kami. Hal ini untuk menghindari pemberitaan besar-besaran mengenai hilangnya kami. Kami takut pemberitaan itu akan membuat keberadaan goa Dempo diketahui oleh banyak orang. Kami tak ingin keasrian dan kemisteriusan goa ini terancam oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.
“Kita masih harus kembali ke sini,” kata Candra.
“Ya, tapi dengan perlengkapan yang lebih sip,” tanggap Mudin. “OK. Semua siap?”
Kami menganggukkan kepala. Rappeling setinggi 100 meter, harus kami lakukan untuk mencapai jalan pertama menuju desa terdekat.Hujan masih rintik. Dinding tebing licin. Kami harus melakukan penurunan satu-satu. Kami belum tahu seberapa kuat dinding tebing tersebut setelah terkena hujan selama dua hari secara terus-menerus.
“Ambil lintasan lain. Tidak mungkin kita melintasi dinding yang sama,” kata Toni, kakak Tina. Toni adalah atlit panjat tebing yang sudah sangat berpengalaman.
Dengan kondisi darurat yang sangat berisiko, kami harus melakukan semuanya sendiri. Akhirnya dengan detak jantung yang cukup kencang, aku pun melakukan rappeling. Do’a tak henti-hentinya aku panjatkan.
“Kita masih harus kembali ke sini,” kata Candra.
“Ya, tapi dengan perlengkapan yang lebih sip,” tanggap Mudin. “OK. Semua siap?”
Kami menganggukkan kepala. Rappeling setinggi 100 meter, harus kami lakukan untuk mencapai jalan pertama menuju desa terdekat.Hujan masih rintik. Dinding tebing licin. Kami harus melakukan penurunan satu-satu. Kami belum tahu seberapa kuat dinding tebing tersebut setelah terkena hujan selama dua hari secara terus-menerus.
“Ambil lintasan lain. Tidak mungkin kita melintasi dinding yang sama,” kata Toni, kakak Tina. Toni adalah atlit panjat tebing yang sudah sangat berpengalaman.
Dengan kondisi darurat yang sangat berisiko, kami harus melakukan semuanya sendiri. Akhirnya dengan detak jantung yang cukup kencang, aku pun melakukan rappeling. Do’a tak henti-hentinya aku panjatkan.
Aku menjadi orang ketiga yang sampai di bawah. Kami masih menunggu Toni. Setelah satu jam menanti, kami melihat sosok Toni berjalan dalam kabut. Toni berjalan dengan terseok-seok. Tahulah kami bahwa kaki Toni, patah.
Perjalanan semakin lambat karena secara bergantian kami menggotong Toni. Tanpa diduga, kami bertemu dengan Kapten Harti. Seorang wanita tangguh nan perkasa. Pasukan Kapten Harti sedang melakukan patroli. Aku kenal dengannya. Dia dulu pacar abangku.
Perjalanan semakin lambat karena secara bergantian kami menggotong Toni. Tanpa diduga, kami bertemu dengan Kapten Harti. Seorang wanita tangguh nan perkasa. Pasukan Kapten Harti sedang melakukan patroli. Aku kenal dengannya. Dia dulu pacar abangku.
Akhirnya Toni diterbangkan dengan helikopter ke rumah sakit terdekat. Kamipun berhasil selamat hingga ke markas Kapten Harti. Misi touring de Dempopun tetap menjadi misi rahasia.